Sunday, November 4, 2012

Masihkah Kurang?


Namaku Gita. Aku baru saja mulai memikirkan akan menulis apa di blog ku minggu ini. Sudah 3 minggu aku mencoba konsisten menulis di blog. Telah kutentukan, minimal satu kali dalam seminggu.  Lima hari kerja berurusan dengan angka-angka dengan segala rutinitas yang menjemukan buatku sudah cukup. Dua hari libur ini akan kumanfaatkan untuk bercinta dengan kata-kata. Bagiku tidak merugikan sama sekali, toh weekend-ku kini tenang tanpa gangguan. Tak ada lagi jadwal pacaran. Bisa kumanfaatkan sepenuhnya untuk mencari inspirasi untuk menulis apa saja yang ku pikirkan. Dari pada hanya melayang-melayang di pikiran, lebih baik dituliskan, bukan?


Lima kali sudah aku memutari ruang keluarga dan ruang makan yang menyatu tanpa sekat ini. Dengan lebar empat meter dan panjang sembilan meter, sepuluh kali putaran saja bisa langsung membuatku kelaparan. Lapar sudah, mulai menulis pun belum. Bukanlah hari yang produktif. Sudah muncul beberapa ide dalam benakku, tapi aku ingin kali ini berbeda. Apalagi ya kali ini. Lingkar otakku yang pas-pas-an masih saja memikirkan topik tentang mantan yang masih saja hilir mudik dalam pikiran dan juga segala curhatan. Tapi lupakan sejenak tentang ide yang belum kunjung datang, perut ini tidak bisa dikompromikan. Semangkuk sup hangat di dapur telah menanti untuk dimakan.


"Gitaaaaaaaaa! Giiiiiiiiiiiiiitttttttt!"


Dari jendela dapur aku melirik ke pagar. Letak dapur di rumah ku memang terletak di bagian depan, jadi aku bisa langsung mengetahui siapa yang berada di depan pagar. Alih-alih langsung membukakan pagar aku malah melanjutkan menyendokan nasi dan menuangkan sup buatan ibuku ke piring makan sambil berteriak cukup kencang,


"Iyaaaaaaaa, ommmmm bentaaaaaaaaaaaaaarrrrrrr."


Om? Iya, om. Adik laki-laki dari ibuku. Sebutan 'om' atau 'omm' setahuku berasal dari bahasa Belanda yang artinya paman. Om yang seperti itu maksudku. Oke baiklah, lebih baik kali ini aku menggunakan kata ganti 'paman' yang lebih aman. Demi menghentikan pikiran kalian yang macam-macam.


Aku beranjak ke teras dan mengamati langit yang masih betah saja dengan wajah kelabu sejak tadi pagi. Huh, mendung lagi. Tanganku dengan sigap membukakan gembok pagar dan menyilakan pamanku untuk segera masuk. Kemudian kembali ku raih piring makanku.

"Makan, paman?"

"Nanti. Masih kenyang."

Usia pamanku terbilang tidak lagi muda. Awal 40-an. Berperawakan sedang dengan berat badan yang lumayan. Aku bisa bilang pamanku ini cukup tampan. Hidung mancung, kulit putih, dengan sedikit cambang dan rambut halus yang tumbuh di muka. Singkatnya, bayangkan saja Ridho Rhoma dua puluh tahun dari sekarang. Ku rasa tak ada bedanya.

"Kamu gak kemana-mana, Git?"

"Engga."

"Gak pacaran?"

"Engga."

"Gak punya pacar?"

"Engga."

"Orang cakep sekarang susah nyari jodoh, ya."


Aku tersenyum.


Tepat tiga bulan lalu pamanku gagal menikah dengan gadis pilihannya. Mungkin tak ada bedanya seperti anak muda di luar sana yang  mendadak labil ketika putus cinta, pamanku sekarang mungkin sedang melewati tahapan galau juga sepertinya. Wirausahawan yang cukup sukses dengan tampang lumayan dan rajin mengaji ternyata belum bisa juga menjadi jaminan mendapatkan jodoh pilihan.


"Paman kemarin lihat, alat bantu pendengaran harganya kurang lebih Rp 14 juta."

"Ih, mahal!"


Benar, memang tidak ada satu pun yang sempurna di dunia. Aku menyuapkan sendokan terakhir kuah sup buatan ibuku yang paling ku suka. Hmm, kali ini sup-nya terlalu asin. Pamanku melanjutkan pembicaraan tentang usaha warung makannya yang mengalami peningkatan setiap bulannya, motivasinya untuk segera naik haji dan juga segera berkeluarga, juga tentang kekhawatirannya tentang alat bantu pendengaran yang kemarin sempat ia konsultasikan dengan dokter.


"Kamu kalau kelamaan pakai headset telinganya sakit, tidak?"

"Iya lah, paman. Sakit."

"Nah itu. Paman takut kalau alatnya ditanam dan permanen. Mungkin sebaiknya lanjutkan terapi pendengaran saja."


Aku termenung. Kalau mau dikumpulkan, banyak dari hidup ini yang bisa kita keluhkan. Tentang apa saja. Tentang pekerjaan yang kadang menjemukan, tentang hilangnya jadwal pacaran, tentang cuaca yang tiba-tiba mendung seharian, tentang rasa sup yang paling ku suka dan ternyata keasinan, tentang cinta yang tak bisa dipaksakan. Terkadang kita lebih fokus pada kekurangan dan lupa dengan segala kelebihan.


Refleks aku berdiri mendekati cermin di lemari pajang yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang makan rumahku. Ku lihat sesosok manusia di dalamnya. Seorang wanita usia 22 tahun dengan status pegawai swasta perbankan dengan kehidupannya yang luar biasa. Ya, kita semua luar biasa dengan segala kehidupan yang kita punya. Kalau kamu masih merasa kurang, coba hitung jari tangan dan kaki yang jumlahnya masing-masing tetap sepuluh. Coba rasakan detakan jantung yang berlebihan ketika bertemu gebetan. Coba mainkan olahraga kesukaanmu dengan kedua tangan dan kaki yang berlarian riang. Coba dengarkan musik kesukaanmu yang mengalun kencang. Coba lihat betapa indah alam sekitar yang bisa kita saksikan. Kalau kamu rasa masih ada yang kurang, coba tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan. Masih bisa bernafas?


Masihkah ada yang kurang?


Piring makanku kini telah bersih dan perutku telah kenyang. Satu hal yang ku sadari sekarang, ternyata kita semua punya 'Mario Teguh versi sendiri' yang bisa membuat kita termotivasi. Hal sederhana yang sebenarnya kita tahu, tapi entah sering terlupakan.

Laptop biru-ku yang tercinta kini sudah berada di pangkuan. Menu tampilan Google Chrome dengan tema Benny & Mice kembali menyambutku dengan warna oranye yang cerah ceria. Lembar web www.blogger.com telah terbuka.


"Gita, paman pulang dulu ya."

"Bentar, paman."

Ku ketikkan space kosong di lembar halaman atas di sebelah tulisan 'Post'. Ku arahkan mouse ke tombol oranye di sebelahnya.


Publish? Yes.




Saturday, October 27, 2012

Sebuah Cinta Kemarin Dulu

Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Sebuah rasa tak terkalahkan
Aku dan kamu melebur menjadi satu
Menjadi kita yang tak terpisahkan


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Sebuah perjuangan yang tak terpikir akan berujung
Karena berjuang bersamamu adalah candu
Caraku bertahan tanpa pundung


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Saat rindu kian bertaut
Namun realita kadang kusut
Selain meratap dan berharap, tak ada lagi yang kita tunggu


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Kadang aku menggerutu
Kenyataan ini memang tak semanis madu
Begitu sakit seperti teriris sembilu
Begitu pahit karena ada saja yang mengganggu


Untuk sebuah... Ah sudahlah.
Cinta itu tak lagi ada. Tak lagi nyata.
Berubah menjadi perih yang menjelma dalam sebuah nama.
Kenangan, begitu ia disapa.
Aku tak begitu mengenalnya.
Entah mengapa sekarang ia menggerayangiku dalam berbagai suasana.


Kenangan, sebaiknya kau pergi dalam setiap bayang-bayang.
Aku perlu lepas darimu dan tertawa dalam senjang.
Pergilah dengannya dan buat ia kejang.
Biarkan dia merasa bagaimana saat rindu menyelinap datang.
Dan izinkan aku bertepuk tangan dan berteriak, "Rasakan itu, jalang!"


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Kini akan ku kembalikan
Separuh hati yang dulu kau pinjamkan
Kurelakan padanya yang lebih membutuhkan


Tak usah pedulikan aku
Bila seorang manusia bisa bertahan dengan ginjal yang hanya satu
Begitu pula aku bertahan dengan separuh hati yang beku


Biarkan aku mencari,
pendonor yang merelakan separuh hatinya menghuni di sini




Friday, October 26, 2012

Alfa Kilo Uniform Sierra Uniform Kilo Alfa

Bagaimana cara menjelaskannya.
Aku suka saat kau mengucapkan namaku dengan...


"Maaf, Romeo Alfa Delta India Tango Yankee Alfa?"


Kamu tahu?
Aku tak peduli dengan suaramu yang berbeda tiap aku menghubungimu.

Kadang aku merasa suaramu terlalu nyaring, kadang terlalu lembut. Kadang begitu mendayu, kadang agak serak. Saranku, kau perlu mengurangi mengonsumsi gorengan. Kamu tahu itu tidak baik untuk suaramu, kan?

Tapi aku selalu suka irama saat kamu berbicara. Intonasi bicaramu selalu membuatku terkagum-kagum. Mungkin kau perlu pertimbangkan, penyiar radio atau pembaca berita sebagai sampingan?

Aku selalu suka. Meskipun kamu cerewet dan selalu menasehatiku dengan banyak cara. Aku harus begini, aku harus begitu.

Ya ya ya. Kamu selalu punya banyak solusi untuk masalah-masalahku.

Kamu, penyelamatku.

Umm.. Bisakah kau menyebut namaku sekali lagi? Aku suka mendengarnya.


"Baik, Pak Raditya. Keluhan bapak sudah kami catat dan segera kami proses. Mohon maaf sebelumnya, kami akan selalu berusaha meningkatkan kualitas pelayanan kami. Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Raditya?"

"Tidak.... Mas. Terima kasih."


Damn! Kenapa customer care-nya kali ini laki-laki?




Sunday, October 21, 2012

A Hug for...

pic from here

“Aku mau tanya, boleh?”

“Tentang?”

“Malah balik bertanya.”

“Oke. Kamu bebas bertanya apapun. Aku juga bebas mau jawab atau tidak.”

“Ih, curang.”

“Hahaha. Sudah, mau tanya apa tadi?”

“Gimana ya. Nggg.. Kamu kalau pulang bareng dengan teman lelaki dengan motor, biasanya bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Maksudku, kamu biasanya pegangan apa agar tidak jatuh?”

“Oh. Paling pegang tas atau pundak. Kenapa memangnya?”

“Hehe. Hanya penasaran.”

“Penasaran sama apa sih?”

“Pengin tahu saja. Saat aku mengantarmu pulang pertama kali, kamu memelukku. Kenapa?”

“Hei. Aku tidak memelukmu saat itu. Hanya pegang pundak. Mungkin maksudmu yang kedua kali.”

“Iya iya. Saat kedua kali. Kenapa kamu peluk aku?”

“Memangnya kamu tidak suka aku peluk?”

“Suka! Tentu saja. Tapi aku ingin tahu kenapa.”

“Soalnya kamu ngebut. Jadi peluk itu untuk alasan keamanan.”

“Cungguh?”

“Kamu kebanyakan twitteran deh, pasti. Denger ya, cuma papa dan pacar yang aku peluk saat di motor. Masa aku peluk-peluk tukang ojek. Hih.”

“Yaiya lah kalau tukang ojek. Teman laki-laki yang lain? Teman kampus, misalnya?”

“Tidak, sayang. Cuma kamu yang aku peluk.”

“Walaupun saat itu kita belum pacaran?”

*


Windows shut down automatically. Please save your setting.

Ah, sial.

Ku tutup laptopku dan kembali kupasangkan softcase-nya. Sudah hampir satu jam aku menghabiskan Caramel macchiato ini sendirian. Ku raih blackberry ku yang sedari tadi berkedip manja.


Iya, iya. Ini dibaca. 


Unlock. Yes. Jangan-jangan bbm atau sms dari… 

Ih. Salah lihat. Ini warna oranye, bukan merah!


Tidak ada bbm atau sms dari siapa pun. Tak ada broadcast messages test contact, online shopping ataupun berita-berita hoax lain. Pun email atau mention masuk. Menyedihkan.

Menu berbentuk logo blackberry tanpa bintang merah begitu menggoda untuk dipilih. Ku geser ke arah menu itu, dan... Tak ada menu recent update. Aku lupa, menu itu sudah lama ku matikan. Menguntungkan sebenarnya. Menghindari panggilan alam untuk kepo dan tidak perlu repot dengan orang yang berganti display picture atau status berkali-kali dalam sehari. T-e-r-s-e-r-a-h. Coba, deh. Terbukti membuat hidup lebih tentram. Selain itu juga antisipasi-anti-galau kalau tidak sengaja membaca update status atau melihat display picture-mu.

Ah, ya. Kamu sudah men-delete ku dari bbm kan.

Pertanyaanmu itu... Kamu masih penasaran tidak, ya? Kenapa aku memelukmu. Entahlah, yang jelas karena aku ingin.

Atau kalau kamu memaksaku menjawab dengan alasan lain, aku akan jawab. Karena pelukan itu menenangkan. Bisa menimbulkan rasa aman kemudian menghangatkan. Pelukan juga bisa berarti keinginan untuk terus bersatu. Tidak ingin lepas. Tidak bisa lepas. Juga sulit melepaskan.

Tapi kalau kamu yang ingin, aku bisa apa?

*



“Sekar!”

Pundakku ditepuk dari belakang. Akhirnya yang ku tunggu datang juga.

“Ih lama amat sih. Itu mbak-mbak nya udah bolak-balik ke sini tau, nanyain gue mau pesen apa lagi.”

“Aduh maaf. Tadi di jalan ban motor gue bocor. Ke bengkel dulu tadi. Maaf ya. Lagian lo gue bbm pending.”

“Lowbatt, gak bawa charger. Sorry...”

Lucky you, punya teman seperti gue yang siap membantu lo di kala susah senang. Gimana, laptopnya bawa kan?”

“Bawa, tadi sempet gue nyalain terus tiba-tiba mati. Sekarang gue serahkan sepenuhnya sama lo sebagai dewa penyelamat gadget gue. Pusing gue sama ini laptop. Nyerah!”

“Sip lah beres. Nanti gue benerin. Eh, berangkat sekarang yuk. Sudah mulai mendung nih.”

“Yuk. Awas kalau ngebut.”

“Sip, bos. Kalau takut, peluk aja. Rugi, rugi deh gue.”

“Hih!”

Ku peluk tas ku dengan erat.



Tangerang, 14 Oktober 2012.

Saturday, October 20, 2012

Sama namun berbeda


Di suatu sore di teras rumahku, kau pernah bilang, dan akupun menyetujui.
"Kita sama-sama sulit mendapatkan yang kita inginkan..."

Kau beranalogi,

Itu seperti ketika...
Aku menyukai sepasang sepatu yang kulihat di sebuah toko. Sepatu coklat berbahan kulit dengan hak kayu 5cm.
Pertama kali melihat, sinyal untuk memiliki begitu kuat, namun kesanggupan finansial ternyata belum siap. Tanggal 25 belum mendekat.
Kuurungkan niatku. Sepatu itu hanya mampu ku tatap penuh harap.

Sesampainya di rumah, sepatu itu pun terus mencuri perhatian setiap waktu, sampai mengganggu tidurku.

Tak bisa ditawar lagi, sepatu itu harus kumiliki!

Semua daya upaya kukerahkan untuk mendapatkannya. Aku siap memiliki sepatu yang kuidamkan. Yang paling ku inginkan. Yang menyita waktu dan perhatian.

Aku kembali datang ke toko itu. Namun seketika kecewa. Sepatu itu sudah tidak ada. 'Sudah laku' kata penjualnya.
Namun aku tetap ingin itu, yang seperti itu. Sama bentuk, rupa, material dan bahannya.
 Semuanya harus sama.

Aku mencari, terus mencari.
Kemudian akhirnya mendapat yang ku inginkan.
Sepatu coklat berbahan kulit dengan hak kayu 5cm.
Namun di toko yang berbeda.

Itu bukan sepatu yang pertama kali ku lihat. Sama bentuk, rupa, material dan bahannya. Tapi berbeda.

Apa aku benar-benar mendapatkan yang aku inginkan? Tidak sepenuhnya.


"Kita sama-sama sulit mendapatkan yang kita inginkan. Butuh usaha berkali-kali lipat dibanding kebanyakan orang. Walau pada akhirnya dapat, tidak selalu persis sama. Bisa mirip atau sama sekali berbeda."

"Sama sepertimu. Aku ingin kamu, begitu pun sebaliknya. Percayalah, pada akhirnya kita akan mendapatkan yang kita inginkan. Tidak pasti sama, tidak harus sama. Mungkin kau akhirnya mendapatkan yang sepertiku. Sama sepertiku. Tapi mungkin bukan aku."

Inspirasi (?)

Apa (atau mungkin siapa) yang menjadi inspirasi terbesarmu?

Inspirasi yang tidak hanya membuat hatimu tergugah, tapi juga membuatmu menghasilkan 'sesuatu'.

Dibanding 'siapa', mungkin saya lebih setuju dengan 'apa'.

Apa yang menjadi inspirasi terbesar saya?

Rasa. Ya, rasa.
Rasa yang bermacam-macam. Seringkali, rasa yang berlebih yang paling menginspirasi saya.
Rasa yang berlebihan. Rasa yang terlalu. Kadang, keterlaluan.

Rasa terlalu senang, terlalu sedih, terlalu cinta, terlalu sakit.

Kamu pernah, merasakannya?
Rasanya seperti ini. Seperti yang saya rasakan sekarang.

Rasa yang terlalu itu selalu menimbulkan efek.
Analoginya seperti ini: Garam yang terlalu banyak, memicu darah tinggi. Gula yang terlalu banyak, memicu diabetes.

Lalu rasa terlalu sakit ini apa efeknya?

Mungkin, itu alasan yang memicu saya yang terinspirasi untuk menulis sebuah blog post malam ini. :)

Selamat malam.


ps: tulisan ini sudah lama di tersimpan di draft tetapi baru sempat di publish. :)

Monday, March 19, 2012

A Home Away From Home

"Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta.
Mereka yang memberikan rumah itu untuk kita, apa pun bentuknya."

-Life Traveler, Windy Ariestanti


Saya teringat bagaimana rasanya saat hari pertama bekerja di perusahaan pertama tempat saya bekerja. Kurang lebih empat setengah bulan yang lalu.

Deg-deg-an.

Selalu ada rasa yang beragam saat memulai sesuatu yang baru.
Grogi, senang, takut, penasaran.

Saya ingat, saat masih sekolah, hari pertama masuk ke jenjang sekolah yang baru selalu membuat saya bersemangat sekaligus khawatir.
Apakah teman sebangku saya nanti menyenangkan? Apakah saya akan mempunyai banyak teman?

Kontradiktif. Senang tapi takut. Penasaran tapi khawatir.

Dan semua ketakutan dan kekhawatiran itu akan hilang seiring dengan berlangsungnya proses...

Adaptasi? Yes.

Pada beberapa orang, proses tersebut dapat berlangsung cepat. Dan sayangnya, pada saya pribadi, proses itu memakan waktu yang tidak sebentar.

Saya, seorang fresh graduated yang belum mempunyai pengalaman kerja kecuali magang, setelah 3 setengah bulan luntang-lantung mengikuti belasan psikotes, interview, dan rangkaian seleksi penerimaan pegawai, akhirnya merasakan juga "hari pertama sebagai pegawai suatu perusahaan".

Legaaaaaaaaaaa.

Akhirnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan "Udah lulus ya? Kuliah lagi atau kerja? Oh, kerja dimana?" tidak lagi dengan perasaan tertekan.

Dan kalau tidak sengaja bertemu adik kelas di jalan, dengan bangganya pasang muka udah-kerjaaaaaa-looooohhh-sekaraaaaaaang.

Keren ya? Oke? Sip.

Balik lagi ke adaptasi.
Dimulai dengan berkenalan dengan partner kerja di kantor di berbagai divisi, berkenalan dengan bos, bosnya bos, bosnya bosnya bos, dan mulai kesulitan menghafal nama seperti biasa.
Mendapat kalimat "Selamat Datang!" dengan perasaan luar biasa. That was such a great feeling.

Lalu apa yang dilakukan setelah berkenalan?
Pastinya ngobrol-ngobrol standard dulu dong. Nama panggilan, tempat kuliah, jurusan, tempat tinggal, hobi, warna kesukaan, makanan kesukaan, artis favorit, patas favorit. Yaaaa, sekalian promo isi CV.

Setelah kehabisan bahan obrolan standard??
Semua kembali ke kerjaan masing-masing. Sibuk sibuk sibuk.
Dan saya yang belum mendapat tugas apapun, juga sibuk mencari "pick-up line" untuk mengajak ngobrol mas/mbak yang terlihat tidak terlalu sibuk untuk diajak sibuk-sibuk ngobrol bersama saya yang tidak sibuk. #rumit
Kalau kehabisan bahan, pasrah nunggu diajak ngobrol duluan.

Satu jam...
Dua jam...
...

Empat jam kemudian, saya resmi bosan sodara-sodara.
Bila tidak ingin disebut resmi, baiklah, saya akan bilang, "Mamaaaaaah akuu beteeeeeee".

Begitu rasanya. Awalnya grogi, penasaran, takut, lalu senang, terus bete.

Tapi jangan salah duga dulu, setengah hari setelahnya, tanpa dinyana-nyana saya sudah merasa sangat nyaman.
Dua hari setelahnya, sepulang kerja saya selalu memikirkan,

"Asiiiiiiik besok ngantor lagiiiiiiiiihhhhhhh". :D

Serius.

Suasana kantor yang seperti ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kekeluargaan! Itu kesan pertama yang saya dapat.
Tidak seperti kantor-kantor lain yang kaku antara karyawan dan atasan.
Di sini, seakan tidak ada batasan. Ya itu, seperti keluarga.
Mungkin karena kebersamaan mereka yang 'lebih' dibanding dengan kantor lainnya, mungkin ya.
Bagaimana tidak, jika pada perusahaan lain jam kerja normal adalah pukul 8 - 5 sore, jam kerja di sini memang kurang 'normal'.
Weekend pun sebagian besar dihabiskan di kantor. Bermalam di kantor sudah hal yang biasa.
Memang benar-benar seperti rumah yang kedua.


Can I said that I love you all so damn much??
Saya merasa menjadi "saya" yang sebenarnya. Baik itu Daus, Dida, Firda, atau Okta. Senang dan nyaman, itu yang saya rasakan.

Oh iya, saya baik-baik saja.
Saya tetap Daus yang bader dan mudah ge-er-an.
Daus yang mudah menguap saat dijelaskan sesuatu yang rumit dan panjang.
Daus yang gampang bosenan dan mondar-mandir kalau tidak ada kerjaan.
Daus yang mudah ngembeng dan kadang sensian.
Saya tetap Daus yang sok prinsipil dan tidak akan merebut sesuatu yang bukan hak saya.
Saya tetap Daus yang kalian dulu kenal. Kalaupun ada yang berubah, I think it's normal. :)

Terima kasih untuk semua ilmu yang kalian share, juga pelajaran hidup yang kalian ajarkan. :')
Kalian semua pribadi-pribadi luar biasa, dengan segala keistimewaan yang selalu membuat saya merasa 'terlanjur' betah.

Pak Dudi, Pak Budi, Pak Ustadz, Mas Andri, Mas ade, Mas Ronald, Mas Agus, mas Firman, mas aQeent, Mas Purna, Fadhil, Mas Rama, Mas Irham, Mas Haris, Pak Iwan, Mas Ijal, Mbak Ajeng, Mbak Budi, Mbak Ika,Mbak Yati, Ade, Devi dan Iis, juga seluruh tim Diknas 2; QC Dokumen, QC MP, QC DE, DE, foto, Adops, GIS, SDM, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Terima kasih yang tak terhingga. Kebersamaan dengan kalian akan selalu saya ingat.
Semoga silaturahmi kita tetap terjaga. :')


Sekarang, beberapa waktu lagi saya akan merasakan kembali rasanya "hari pertama". Kembali masuk ke lingkungan baru bertemu orang-orang baru pula. Dan lagi, adaptasi akan menemani hari-hari saya ke depan.
Akankah saya akan menemukan 'rumah' dan keluarga baru yang sama menyenangkannya?

Semoga. :')

Saturday, February 25, 2012

Pegawai?

Setiap berbincang-bincang tentang PNS dengan ayah saya, setiap itu pula kami beradu argumen.

Ayah saya selalu menginginkan saya untuk menjadi pegawai negeri. Alasannya, apalagi kalau bukan karena kepastian dan rasa ‘aman’ yang ditawarkan.
Kalau jadi PNS pekerjaannya tidak terlalu sulit jadi bisa begini, kalau sudah habis masa tugas alias pensiun nanti begitu.
Bla bla bla.

Kalau. Kalau. Kalau.

Ya, saya lahir dari kedua orang tua yang berstatus sebagai pegawai swasta. Ibu saya bekerja sebagai dosen di universitas swasta.
Sedangkan ayah saya, seorang pekerja swasta lebih dari 30 tahun masa kerja diberbagai perusahaan lokal maupun asing di bidang piping, mining, and gas.
Pengalamannya tidak usah diragukan lagi. Ia sangat berjaya di masa mudanya.
Berpenghasilan cukup besar dengan konsekuensi besar pula. Dinas berbulan-bulan di luar kota ataupun luar negeri tanpa bisa bertemu dengan keluarga tercinta. Begitulah perjuangan ayah saya demi memastikan agar saya mendapatkan gizi yang cukup selama masa pertumbuhan dan selalu minum susu setiap pagi sebelum berangkat sekolah.
Saya tidak perlu memikirkan hal-hal sulit lain, tugas saya hanya belajar.
Titik.

Sebagai anak tunggal, saya hampir selalu mendapatkan yang saya inginkan meski tetap harus berjuang.
Saya bisa mendapatkan sepeda baru asal semester ini rangking satu.
Saya bisa memiliki mainan baru jika minggu ini saya membantu ibu mengoreksi hasil ujian tengah semester. Saya terbiasa seperti itu.
Untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, perlu perjuangan. Tidak bisa instan. Kecuali mie yang biasa saya makan.

Pegawai negeri sipil atau PNS, menjanjikan rasa ‘aman’ yang selama ini tidak didapatkan oleh orang tua saya.
Setidaknya, itulah yang sering mereka ungkapkan.
Pada masa hampir pensiun seperti sekarang, ayah saya tidak memiliki kepastian tentang bagaimana pendapatannya di masa tua nanti.
Tunjangan hari tua, atau uang pensiun.
Itu kata kuncinya.

PNS ataupun pegawai swasta, sebenarnya sama-sama bisa memiliki ‘kepastian’ di hari tua.
Bedanya, tunjangan hari tua PNS dipersiapkan oleh pemerintah, sedangkan pegawai swasta dituntut untuk mempersiapkan sendiri.
Dan orang tua saya, tidak menyiapkan hal itu.

Lalu apa yang salah dengan PNS? Kenapa saya saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi PNS?
Baiklah. Panggil saya sok tau, sok idealis, atau apalah terserah.
Tetapi bagi saya, impian saya jauh lebih besar dari itu. Saya termasuk orang yang mudah bosan. Saya menyukai hal-hal menarik.
Buat saya, pekerjaan pegawai negeri sipil tidak menarik sama sekali.
Saya tidak membayangkan akan melakukan pekerjaan yang itu-itu saja sampai tiba masa pensiun. Bagaimana dengan impian saya untuk berkeliling dunia khususnya Eropa?
Bagaimana dengan cita-cita saya untuk hidup tenang di masa tua tanpa memikirkan apakah bulan depan gaji saya naik, atau bagaimana agar uang pensiun dapat cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Saya tidak ingin sebagian hidup saya dihabiskan untuk mencari uang. Uang yang harusnya bekerja untuk saya. Make my own money, from my own business.

Terdengar sempurna sekali, ya?

Apakah saya sudah melakukan sesuatu untuk mencapai impian saya tersebut?
Jujur, belum banyak langkah berarti. Saya masih nyaman dengan pekerjaan saya sekarang.
Namun saya berjanji dalam hati agar mempersiapkan hari tua sejak sekarang.

Bila ada teman yang bertanya apakah saya benar-benar tidak tertarik untuk menjadi PNS, saya dengan lantang akan menjawab ‘tidak!’.
Namun bila ada teman yang memberi tahu info bahwa seleksi penerimaan pegawai negeri sipil telah dibuka, saya akan bertanya,

“Kementrian Luar Negeri sudah membuka lowongan, belum?” ;)


Sekian dan terima gaji bulan ini. :3