Saturday, October 27, 2012

Sebuah Cinta Kemarin Dulu

Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Sebuah rasa tak terkalahkan
Aku dan kamu melebur menjadi satu
Menjadi kita yang tak terpisahkan


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Sebuah perjuangan yang tak terpikir akan berujung
Karena berjuang bersamamu adalah candu
Caraku bertahan tanpa pundung


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Saat rindu kian bertaut
Namun realita kadang kusut
Selain meratap dan berharap, tak ada lagi yang kita tunggu


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Kadang aku menggerutu
Kenyataan ini memang tak semanis madu
Begitu sakit seperti teriris sembilu
Begitu pahit karena ada saja yang mengganggu


Untuk sebuah... Ah sudahlah.
Cinta itu tak lagi ada. Tak lagi nyata.
Berubah menjadi perih yang menjelma dalam sebuah nama.
Kenangan, begitu ia disapa.
Aku tak begitu mengenalnya.
Entah mengapa sekarang ia menggerayangiku dalam berbagai suasana.


Kenangan, sebaiknya kau pergi dalam setiap bayang-bayang.
Aku perlu lepas darimu dan tertawa dalam senjang.
Pergilah dengannya dan buat ia kejang.
Biarkan dia merasa bagaimana saat rindu menyelinap datang.
Dan izinkan aku bertepuk tangan dan berteriak, "Rasakan itu, jalang!"


Untuk sebuah cinta kemarin dulu
Kini akan ku kembalikan
Separuh hati yang dulu kau pinjamkan
Kurelakan padanya yang lebih membutuhkan


Tak usah pedulikan aku
Bila seorang manusia bisa bertahan dengan ginjal yang hanya satu
Begitu pula aku bertahan dengan separuh hati yang beku


Biarkan aku mencari,
pendonor yang merelakan separuh hatinya menghuni di sini




Friday, October 26, 2012

Alfa Kilo Uniform Sierra Uniform Kilo Alfa

Bagaimana cara menjelaskannya.
Aku suka saat kau mengucapkan namaku dengan...


"Maaf, Romeo Alfa Delta India Tango Yankee Alfa?"


Kamu tahu?
Aku tak peduli dengan suaramu yang berbeda tiap aku menghubungimu.

Kadang aku merasa suaramu terlalu nyaring, kadang terlalu lembut. Kadang begitu mendayu, kadang agak serak. Saranku, kau perlu mengurangi mengonsumsi gorengan. Kamu tahu itu tidak baik untuk suaramu, kan?

Tapi aku selalu suka irama saat kamu berbicara. Intonasi bicaramu selalu membuatku terkagum-kagum. Mungkin kau perlu pertimbangkan, penyiar radio atau pembaca berita sebagai sampingan?

Aku selalu suka. Meskipun kamu cerewet dan selalu menasehatiku dengan banyak cara. Aku harus begini, aku harus begitu.

Ya ya ya. Kamu selalu punya banyak solusi untuk masalah-masalahku.

Kamu, penyelamatku.

Umm.. Bisakah kau menyebut namaku sekali lagi? Aku suka mendengarnya.


"Baik, Pak Raditya. Keluhan bapak sudah kami catat dan segera kami proses. Mohon maaf sebelumnya, kami akan selalu berusaha meningkatkan kualitas pelayanan kami. Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Raditya?"

"Tidak.... Mas. Terima kasih."


Damn! Kenapa customer care-nya kali ini laki-laki?




Sunday, October 21, 2012

A Hug for...

pic from here

“Aku mau tanya, boleh?”

“Tentang?”

“Malah balik bertanya.”

“Oke. Kamu bebas bertanya apapun. Aku juga bebas mau jawab atau tidak.”

“Ih, curang.”

“Hahaha. Sudah, mau tanya apa tadi?”

“Gimana ya. Nggg.. Kamu kalau pulang bareng dengan teman lelaki dengan motor, biasanya bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Maksudku, kamu biasanya pegangan apa agar tidak jatuh?”

“Oh. Paling pegang tas atau pundak. Kenapa memangnya?”

“Hehe. Hanya penasaran.”

“Penasaran sama apa sih?”

“Pengin tahu saja. Saat aku mengantarmu pulang pertama kali, kamu memelukku. Kenapa?”

“Hei. Aku tidak memelukmu saat itu. Hanya pegang pundak. Mungkin maksudmu yang kedua kali.”

“Iya iya. Saat kedua kali. Kenapa kamu peluk aku?”

“Memangnya kamu tidak suka aku peluk?”

“Suka! Tentu saja. Tapi aku ingin tahu kenapa.”

“Soalnya kamu ngebut. Jadi peluk itu untuk alasan keamanan.”

“Cungguh?”

“Kamu kebanyakan twitteran deh, pasti. Denger ya, cuma papa dan pacar yang aku peluk saat di motor. Masa aku peluk-peluk tukang ojek. Hih.”

“Yaiya lah kalau tukang ojek. Teman laki-laki yang lain? Teman kampus, misalnya?”

“Tidak, sayang. Cuma kamu yang aku peluk.”

“Walaupun saat itu kita belum pacaran?”

*


Windows shut down automatically. Please save your setting.

Ah, sial.

Ku tutup laptopku dan kembali kupasangkan softcase-nya. Sudah hampir satu jam aku menghabiskan Caramel macchiato ini sendirian. Ku raih blackberry ku yang sedari tadi berkedip manja.


Iya, iya. Ini dibaca. 


Unlock. Yes. Jangan-jangan bbm atau sms dari… 

Ih. Salah lihat. Ini warna oranye, bukan merah!


Tidak ada bbm atau sms dari siapa pun. Tak ada broadcast messages test contact, online shopping ataupun berita-berita hoax lain. Pun email atau mention masuk. Menyedihkan.

Menu berbentuk logo blackberry tanpa bintang merah begitu menggoda untuk dipilih. Ku geser ke arah menu itu, dan... Tak ada menu recent update. Aku lupa, menu itu sudah lama ku matikan. Menguntungkan sebenarnya. Menghindari panggilan alam untuk kepo dan tidak perlu repot dengan orang yang berganti display picture atau status berkali-kali dalam sehari. T-e-r-s-e-r-a-h. Coba, deh. Terbukti membuat hidup lebih tentram. Selain itu juga antisipasi-anti-galau kalau tidak sengaja membaca update status atau melihat display picture-mu.

Ah, ya. Kamu sudah men-delete ku dari bbm kan.

Pertanyaanmu itu... Kamu masih penasaran tidak, ya? Kenapa aku memelukmu. Entahlah, yang jelas karena aku ingin.

Atau kalau kamu memaksaku menjawab dengan alasan lain, aku akan jawab. Karena pelukan itu menenangkan. Bisa menimbulkan rasa aman kemudian menghangatkan. Pelukan juga bisa berarti keinginan untuk terus bersatu. Tidak ingin lepas. Tidak bisa lepas. Juga sulit melepaskan.

Tapi kalau kamu yang ingin, aku bisa apa?

*



“Sekar!”

Pundakku ditepuk dari belakang. Akhirnya yang ku tunggu datang juga.

“Ih lama amat sih. Itu mbak-mbak nya udah bolak-balik ke sini tau, nanyain gue mau pesen apa lagi.”

“Aduh maaf. Tadi di jalan ban motor gue bocor. Ke bengkel dulu tadi. Maaf ya. Lagian lo gue bbm pending.”

“Lowbatt, gak bawa charger. Sorry...”

Lucky you, punya teman seperti gue yang siap membantu lo di kala susah senang. Gimana, laptopnya bawa kan?”

“Bawa, tadi sempet gue nyalain terus tiba-tiba mati. Sekarang gue serahkan sepenuhnya sama lo sebagai dewa penyelamat gadget gue. Pusing gue sama ini laptop. Nyerah!”

“Sip lah beres. Nanti gue benerin. Eh, berangkat sekarang yuk. Sudah mulai mendung nih.”

“Yuk. Awas kalau ngebut.”

“Sip, bos. Kalau takut, peluk aja. Rugi, rugi deh gue.”

“Hih!”

Ku peluk tas ku dengan erat.



Tangerang, 14 Oktober 2012.

Saturday, October 20, 2012

Sama namun berbeda


Di suatu sore di teras rumahku, kau pernah bilang, dan akupun menyetujui.
"Kita sama-sama sulit mendapatkan yang kita inginkan..."

Kau beranalogi,

Itu seperti ketika...
Aku menyukai sepasang sepatu yang kulihat di sebuah toko. Sepatu coklat berbahan kulit dengan hak kayu 5cm.
Pertama kali melihat, sinyal untuk memiliki begitu kuat, namun kesanggupan finansial ternyata belum siap. Tanggal 25 belum mendekat.
Kuurungkan niatku. Sepatu itu hanya mampu ku tatap penuh harap.

Sesampainya di rumah, sepatu itu pun terus mencuri perhatian setiap waktu, sampai mengganggu tidurku.

Tak bisa ditawar lagi, sepatu itu harus kumiliki!

Semua daya upaya kukerahkan untuk mendapatkannya. Aku siap memiliki sepatu yang kuidamkan. Yang paling ku inginkan. Yang menyita waktu dan perhatian.

Aku kembali datang ke toko itu. Namun seketika kecewa. Sepatu itu sudah tidak ada. 'Sudah laku' kata penjualnya.
Namun aku tetap ingin itu, yang seperti itu. Sama bentuk, rupa, material dan bahannya.
 Semuanya harus sama.

Aku mencari, terus mencari.
Kemudian akhirnya mendapat yang ku inginkan.
Sepatu coklat berbahan kulit dengan hak kayu 5cm.
Namun di toko yang berbeda.

Itu bukan sepatu yang pertama kali ku lihat. Sama bentuk, rupa, material dan bahannya. Tapi berbeda.

Apa aku benar-benar mendapatkan yang aku inginkan? Tidak sepenuhnya.


"Kita sama-sama sulit mendapatkan yang kita inginkan. Butuh usaha berkali-kali lipat dibanding kebanyakan orang. Walau pada akhirnya dapat, tidak selalu persis sama. Bisa mirip atau sama sekali berbeda."

"Sama sepertimu. Aku ingin kamu, begitu pun sebaliknya. Percayalah, pada akhirnya kita akan mendapatkan yang kita inginkan. Tidak pasti sama, tidak harus sama. Mungkin kau akhirnya mendapatkan yang sepertiku. Sama sepertiku. Tapi mungkin bukan aku."

Inspirasi (?)

Apa (atau mungkin siapa) yang menjadi inspirasi terbesarmu?

Inspirasi yang tidak hanya membuat hatimu tergugah, tapi juga membuatmu menghasilkan 'sesuatu'.

Dibanding 'siapa', mungkin saya lebih setuju dengan 'apa'.

Apa yang menjadi inspirasi terbesar saya?

Rasa. Ya, rasa.
Rasa yang bermacam-macam. Seringkali, rasa yang berlebih yang paling menginspirasi saya.
Rasa yang berlebihan. Rasa yang terlalu. Kadang, keterlaluan.

Rasa terlalu senang, terlalu sedih, terlalu cinta, terlalu sakit.

Kamu pernah, merasakannya?
Rasanya seperti ini. Seperti yang saya rasakan sekarang.

Rasa yang terlalu itu selalu menimbulkan efek.
Analoginya seperti ini: Garam yang terlalu banyak, memicu darah tinggi. Gula yang terlalu banyak, memicu diabetes.

Lalu rasa terlalu sakit ini apa efeknya?

Mungkin, itu alasan yang memicu saya yang terinspirasi untuk menulis sebuah blog post malam ini. :)

Selamat malam.


ps: tulisan ini sudah lama di tersimpan di draft tetapi baru sempat di publish. :)