Monday, June 24, 2013

This is Home


Hei kamu, apa kabar? Baik? Alhamdulillah.

Kabar saya? Alhamdulillah luar biasa. Saya masih Firda dengan tugas rauwis-uwis yang membelenggu, yang slogannya seperti lagu nasionalis, 'gugur satu tumbuh seribu'.

Oke, mari lupakan tugas sejenak.

There's maaanyyyy things I wanna share in here. Let's say, mungkin ini sejenis curhat. Walaupun agak menggelikan sih. "Kok curhat di blog? Nanti ketauan dong." Nah itu dia, menurut saya menulis personal life di blog itu semacam guilty pleasure. Semangat nulis berbekal keyakinan, "Ah, paling gak ada yang baca". Dan kemudian setelah posting ada yang komentar, "Oooo my God kenapa ada yang bacaaaa siiihhh kan maluuuu.". Aneh memang, kalau gak pengen ada yang tau kenapa dipublish di blog. Hahaha.

Tetapi walaupun begitu, saya tetap setia dengan blog ini. Dari pertama kali saya mengenal blogging dari 'Kambing Jantan'nya Raditya Dika dan memutuskan untuk membuat blog sendiri sampai dengan sekarang, saya tidak berpikir untuk beralih hati membuat akun lain entah di wordpress, Tumblr, atau sejenisnya. Alasannya cuma satu, biarkan semuanya terdokumentasi di sini. Dari masa-masa alay ketika SMA, kuliah, jobseeker hingga sekarang sudah bekerja. Jadi jika nanti suatu saat saya lupa ingatan, ketika membaca blog ini saya akan tersenyum dan menggumam, "Ah ya, been there done that.". :')

Menyenangkan jika mengingat kembali masa-masa tersebut, bagaimana saya menemukan 'keluarga' yang tidak pernah saya duga sebelumnya. 
Posting saya yang berjudul "A Home Away From Home", merupakan tulisan perpisahan saya dengan rekan-rekan di tempat bekerja sebelumnya, tempat saya menemukan rumah dan keluarga dan juga kekhawatiran saya memasuki lingkungan baru, yaitu tempat saya bekerja saat ini.

Kemudian bagaimana kelanjutannya?

Hehe. Saya menyadari, ternyata adaptasi itu hanya masalah waktu. Menyenangkan atau tidaknya suatu tempat atau lingkungan pun kembali pada diri kita sendiri. Di sini, saya kembali masuk dalam sebuah keluarga, tepatnya keluarga besar. Cukup besar untuk saya yang di rumah hanya memiliki tiga orang anggota keluarga inti. 

Untungnya, saya tidak sendiri. Ada enam orang tidak beruntung lainnya yang memiliki nasib yang sama dengan saya. Kemudian kami bertujuh bersatu, menyamakan tekad, menyatukan kekuatan, membuat kostum, membentuk girl and boy band lalu menguasai dunia. Hahahahahahahahahahaha~

Oke, itu berlebihan.

Nasib kami dipersatukan oleh kesamaan hak dan tanggung jawab yang berlabel Trainee selama satu tahun. Banyaknya kegiatan yang kami lakukan bersama membuat kami memiliki kedekatan lebih dan kemudian mendeklarasikan diri sebagai Geng, yang nantinya akan menguasai dunia.

Hmm... Saya tidak tahu apakah saya saja ataukah mereka juga merasakan hal yang sama atau tidak. Yang jelas, I feel blessed to have their in my life. :')
Walau kadang muncul beberapa pemikiran possesif mengganggu tentang keberlangsungan Geng jika salah satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, dari kita berkeluarga dan memiliki 'hati-hati' yang harus dijaga. Hehehe.
Geng masih bisa eksis gak ya?

Tentu bisa. Jadi nanti anak-anak kita temenan, satu sekolah, satu geng juga, dan kemudian apaaaaah? (((menguasai dunia, yeah!)))


*

Wherever you feel peacefulness, you might call it home.
And, yes. This is home.
Bersama mereka, saya bukan hanya sekadar menemukan rumah dan keluarga, lebih dari itu.
Bersama mereka, saya merasa pulang.


Saturday, June 15, 2013

Prioritas (?)

Semakin bertambah usia seseorang semestinya makin mengetahui dan pandai menyusun skala prioritas, baik dalam pekerjaan juga kehidupan sehari-hari. Kegiatan mana yang harus dikerjakan, mana yang harus didahulukan,  mana yang harus ditinggalkan. Seharusnya seperti itu sih ya. Tetapi rasanya semakin lama semakin sulit saja membuat skala prioritas sehari-hari. Apalagi semenjak saya menjalani dua peran, sebagai pekerja sekaligus mahasiswa. Saya melanjutkan pendidikan ekstensi dan memilih kelas Sabtu-Minggu, dengan pertimbangan lebih efektif dibanding kelas malam setelah pulang kerja. Dengan konsekuensi, tidak ada hari libur dalam tujuh hari setiap minggunya. Kecuali tanggal merah, tentu saja.

Saya menikmati sekali proses belajar kembali menjadi pelajar. Bertemu dengan ragam manusia dengan karakter berbeda. Berbagai cara komunikasi yang dilakukan tiap dosen untuk menyampaikan mata kuliah bimbingannya. Menyenangkan awalnya, bertemu dengan teman-teman baru. Kemudian mengerikan, ketika tugas-tugas kuliah yang diberikan menumpuk dan entah akan dikerjakan kapan namun besok harus dikumpulkan.

Saya bukan orang yang terstruktur, mungkin lebih cenderung spontaneous. Tapi saya akui, sesuatu yang terjadwal dan terencana memang lebih baik. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah, kegiatan saya terfokus dengan pekerjaan. Senin-Jumat. From 8 to 5. Sabtu-Minggu waktu untuk istirahat, keluarga, dan teman-teman. Kembali ke Senin, kembali seperti itu dan begitu seterusnya. Secara tidak sadar menjadi terstruktur tiap harinya. Bagun tidur pukul 5, berangkat kantor 06.30, sampai kantor pukul 7. Tak ada banyak perubahan.

Kemudian semua itu berubah ketika saya melanjutkan kuliah. Senin-Jumat kerja, Sabtu-Minggu kuliah. Kemudian kembali lagi ke Senin. Kerja lagi, dan tugas belum dikerjakan. Selasa-Rabu-Kamis-Jumat terus bekerja. Sabtu dan Minggu lanjut kuliah. Senin kembali, kemudian telat masuk kantor dan tugas (masih) belum dikerjakan.

Berubahnya jam tidur, bertambahnya aktifitas, dan berkurangnya waktu istirahat. Semua itu tentunya faktor-faktor yang seharusnya cukup untuk membuat saya menggunakan skala prioritas dalam tiap kegiatan saya. Contohnya seperti, mengerjakan tugas e-learning  dan menyiapkan materi presentasi dibanding mem-posting blog post malam ini.

Sekian dan terima kasih.