Namaku Gita. Aku baru
saja mulai memikirkan akan menulis apa di blog ku minggu ini. Sudah 3 minggu
aku mencoba konsisten menulis di blog. Telah kutentukan, minimal satu kali
dalam seminggu. Lima hari kerja berurusan dengan angka-angka dengan segala rutinitas yang menjemukan buatku sudah cukup. Dua hari libur ini akan kumanfaatkan untuk bercinta dengan kata-kata. Bagiku tidak merugikan sama sekali, toh weekend-ku kini tenang tanpa gangguan. Tak ada lagi jadwal pacaran. Bisa kumanfaatkan sepenuhnya
untuk mencari inspirasi untuk menulis apa saja yang ku pikirkan. Dari pada
hanya melayang-melayang di pikiran, lebih baik dituliskan, bukan?
Lima kali sudah aku
memutari ruang keluarga dan ruang makan yang menyatu tanpa sekat ini. Dengan
lebar empat meter dan panjang sembilan meter, sepuluh kali putaran saja bisa
langsung membuatku kelaparan. Lapar sudah, mulai menulis pun belum. Bukanlah
hari yang produktif. Sudah muncul beberapa ide dalam benakku, tapi aku ingin kali ini berbeda. Apalagi ya kali ini. Lingkar otakku yang pas-pas-an masih saja memikirkan topik tentang mantan yang masih saja hilir mudik dalam pikiran dan juga segala curhatan. Tapi lupakan sejenak tentang ide yang belum kunjung datang,
perut ini tidak bisa dikompromikan. Semangkuk sup hangat di dapur telah menanti untuk dimakan.
"Gitaaaaaaaaa!
Giiiiiiiiiiiiiitttttttt!"
Dari jendela dapur aku
melirik ke pagar. Letak dapur di rumah ku memang terletak di bagian depan, jadi
aku bisa langsung mengetahui siapa yang berada di depan pagar. Alih-alih
langsung membukakan pagar aku malah melanjutkan menyendokan nasi dan menuangkan
sup buatan ibuku ke piring makan sambil berteriak cukup kencang,
"Iyaaaaaaaa, ommmmm
bentaaaaaaaaaaaaaarrrrrrr."
Om? Iya, om. Adik
laki-laki dari ibuku. Sebutan 'om' atau 'omm' setahuku berasal dari bahasa Belanda
yang artinya paman. Om yang seperti itu maksudku. Oke baiklah, lebih baik kali
ini aku menggunakan kata ganti 'paman' yang lebih aman. Demi menghentikan
pikiran kalian yang macam-macam.
Aku beranjak ke teras dan
mengamati langit yang masih betah saja dengan wajah kelabu sejak tadi pagi. Huh, mendung lagi. Tanganku dengan sigap membukakan gembok pagar dan menyilakan pamanku untuk
segera masuk. Kemudian kembali ku raih piring makanku.
"Makan, paman?"
"Nanti. Masih
kenyang."
Usia pamanku terbilang
tidak lagi muda. Awal 40-an. Berperawakan sedang dengan berat badan yang
lumayan. Aku bisa bilang pamanku ini cukup tampan. Hidung mancung, kulit putih, dengan sedikit cambang dan rambut
halus yang tumbuh di muka. Singkatnya, bayangkan saja Ridho Rhoma dua puluh
tahun dari sekarang. Ku rasa tak ada bedanya.
"Kamu gak
kemana-mana, Git?"
"Engga."
"Gak pacaran?"
"Engga."
"Gak punya
pacar?"
"Engga."
"Orang cakep
sekarang susah nyari jodoh, ya."
Aku tersenyum.
Tepat tiga bulan lalu
pamanku gagal menikah dengan gadis
pilihannya. Mungkin tak ada bedanya seperti anak muda di luar sana yang mendadak labil ketika putus cinta, pamanku sekarang mungkin sedang melewati tahapan galau juga sepertinya. Wirausahawan yang cukup sukses dengan tampang lumayan dan rajin mengaji ternyata belum bisa juga menjadi jaminan mendapatkan jodoh pilihan.
"Paman kemarin lihat, alat bantu pendengaran harganya kurang lebih Rp 14 juta."
"Ih, mahal!"
Benar, memang tidak ada satu pun yang sempurna di dunia. Aku menyuapkan sendokan terakhir kuah sup buatan ibuku yang paling ku suka. Hmm, kali ini sup-nya terlalu asin. Pamanku melanjutkan pembicaraan tentang usaha warung makannya yang mengalami peningkatan setiap bulannya, motivasinya untuk segera naik haji dan juga segera berkeluarga, juga tentang kekhawatirannya tentang alat bantu pendengaran yang kemarin sempat ia konsultasikan dengan dokter.
"Kamu kalau kelamaan pakai headset telinganya sakit, tidak?"
"Iya lah, paman. Sakit."
"Nah itu. Paman takut kalau alatnya ditanam dan permanen. Mungkin sebaiknya lanjutkan terapi pendengaran saja."
Aku termenung. Kalau mau dikumpulkan, banyak dari hidup ini yang bisa kita keluhkan. Tentang apa saja. Tentang pekerjaan yang kadang menjemukan, tentang hilangnya jadwal pacaran, tentang cuaca yang tiba-tiba mendung seharian, tentang rasa sup yang paling ku suka dan ternyata keasinan, tentang cinta yang tak bisa dipaksakan. Terkadang kita lebih fokus pada kekurangan dan lupa dengan segala kelebihan.
Refleks aku berdiri mendekati cermin di lemari pajang yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang makan rumahku. Ku lihat sesosok manusia di dalamnya. Seorang wanita usia 22 tahun dengan status pegawai swasta perbankan dengan kehidupannya yang luar biasa. Ya, kita semua luar biasa dengan segala kehidupan yang kita punya. Kalau kamu masih merasa kurang, coba hitung jari tangan dan kaki yang jumlahnya masing-masing tetap sepuluh. Coba rasakan detakan jantung yang berlebihan ketika bertemu gebetan. Coba mainkan olahraga kesukaanmu dengan kedua tangan dan kaki yang berlarian riang. Coba dengarkan musik kesukaanmu yang mengalun kencang. Coba lihat betapa indah alam sekitar yang bisa kita saksikan. Kalau kamu rasa masih ada yang kurang, coba tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan. Masih bisa bernafas?
Masihkah ada yang kurang?
Piring makanku kini telah bersih dan perutku telah kenyang. Satu hal yang ku sadari sekarang, ternyata kita semua punya 'Mario Teguh versi sendiri' yang bisa membuat kita termotivasi. Hal sederhana yang sebenarnya kita tahu, tapi entah sering terlupakan.
Laptop biru-ku yang tercinta kini sudah berada di pangkuan. Menu tampilan Google Chrome dengan tema Benny & Mice kembali menyambutku dengan warna oranye yang cerah ceria. Lembar web www.blogger.com telah terbuka.
"Gita, paman pulang dulu ya."
"Bentar, paman."
Ku ketikkan space kosong di lembar halaman atas di sebelah tulisan 'Post'. Ku arahkan mouse ke tombol oranye di sebelahnya.
Publish? Yes.