Saturday, October 25, 2014

Mungkin Saja (Cinta)

Sometime hidup itu life, kata @komikazer di Instagram.

Tapi saat ini saya tidak akan membicarakan tentang komik atau instagram. Kali ini, mari kita berbicara tentang hal yang serius. Let's talk about love.
Iya, masalah cinta ini emang masalah serius. Emang kamu ga mau diseriusin?

Eh kamu yang disebelah kiri, jangan tiba-tiba inget mantan dulu ya. We remain on the topic above. Kita akan memasuki zona bebas mantan. Sorry to say, guys.

Selama ini saya penasaran tentang sampai seberapakah seseorang merasa cukup dalam kemungkinan untuk bertemu dan menemukan partner untuk melanjutkan hidup. Yes, i know. Manusia tidak akan merasa cukup dan puas. Tapi tentu akan berada dalam satu titik untuk bertemu dengan orang yang tepat yang kamu yakin akan melanjutkan hidup bersamanya. Saya sering bertanya hal ini dengan teman yang sudah menikah, and yes, jawabannya pasti berbeda-beda dan tidak bisa saya simpulkan. Sebenarnya sih saya sudah tahu jawabannya. Pertanyaan ini akan terjawab kalau sudah pernah merasakan dan menjalaninya, yaitu dengan menikah.

Berhubung saya belum pernah, saya tetap penasaran tentu saja.

Menurut saya, tanpa disadari atau tidak kita memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Maksud saya, kita sendiri yang memutuskan untuk 'jatuh' atau tidak. Ketika akhirnya kita mencintai seseorang yang mungkin sebelumnya tidak kita 'kira', berarti telah terjadi penerimaan yang memutuskan untuk memilih 'jatuh'.

Sampai suatu ketika, i need to know how to define whether i'm in love or not. Kriteria pertama, biasanya saya mendefinisikan cinta sebagai keberadaan kupu-kupu yang berada dalam perut (butterfly in your stomach, know about that phrase?) saat saya berinteraksi dengan seseorang. Sesimpel itu. Jika saya tidak merasakan itu, i can easily define that i'm not in love. Namun belakangan, ternyata keyakinan itu tidak selamanya benar. I think, butterfly in stomach menunjukkan bahwa kita memiliki ketertarikan terhadap orang tersebut, walau dapat menjadi salah satu indikator namun tidak semuanya dapat dikategorikan sebagai cinta. Ketertarikan itu dapat bermacam-macam, bisa secara fisik, personality, kesamaan hobi, dan lain sebagainya. Atau mungkin, bisa saja itu bukan kupu-kupu, mungkin sulit membedakan dengan mules atau lapar? Siapa tahu.

Kriteria kedua (i tried to make it sound a bit scientific discussion) adalah rasa nyaman. Tidak, kita tidak sedang membicarakan sofa atau kasur yang bisa membuat kita nyaman (by the way, udah pada ke IKEA Alam Sutera, guys? #kode). Selain sofa atau kasur, orang yang tepat juga bisa membuat kita merasa nyaman. Ini sulit dijabarkan sebenarnya, hanya dapat dirasakan. Biasanya kenyamanan dapat dikaitkan dengan kecocokan dalam pemikiran atau percakapan, kesamaan pandangan tentang suatu/banyak hal, dan keyakinan akan rasa aman yang diharapkan pada seseorang. Tetapi rasa nyaman juga bisa kita rasakan pada teman atau sahabat (selain keluarga tentunya). Jadi meskipun merupakan faktor penting, namun bukanlah faktor penentu.

Kriteria ketiga, kesamaan sense of humor. Adakah yang juga mempertimbangkan hal ini selain saya? To find someone who laughs at the same things you do.




Mengambil kutipan om Piring @newsplatter on his account at ask.fm (@manampiring) pentingnya sense of humor dalam memilih pasangan ini penting namun tidak sering dibahas. Akan tetapi menurut @newsplatter lagi menanggapi pertanyaan, "If you and your wife have different taste of humour, how can be both of you fit together?" and his answer is "Because a relationship is more than just a comedy show?". 

Ribet ya. Yah namanya juga pemikiran yang disalurkan dalam tulisan. Aslinya mah lebih ribet dari ini. Tapi ini kan cuma teori asal yang saya buat sendiri. Kenyataannya mungkin lebih simpel, atau jauh lebih rumit. Pusing lah. Lebih baik kita saling mencari dan menemukan.


Bukan begitu, Pak?

No comments:

Post a Comment

Comment please! :)